Waktu Yang Kutinggalkan
Aku bukan
daun yang layu
Aku bukan
tangkai yang tumbang
Aku bukan
pula kelopak yang jatuh begitu saja
Aku ingin
menjadi karang yang tak akan terkikis oleh badai ombak
Aku ingin
menjadi mentari yang tak pernah lelah menyinari
Aku ingin
menjadi hujan yang menyejukkan setiap hamba-NYA
Aku ingin
menjadi air, sumber hidup bagi segala makhluk
Tapi...
Aku takut,
Akan waktu
yang tak sampai pada inginku
Akan waktu
yang tak akan menemaniku
Akan waktu
yang hilang dariku
Jikalau ia
hilang Aku ingin terukir disetiap waktu, ketika aku tak dapat lagi menemui
waktu
Aku ingin
terukir indah, disetiap mata dan jiwa yang kutemui
Bantu aku
untuk mengukir setiap waktu yang tak akan kutemui
Secangkir Doa...
secangkir
doa pada penghujung desember,
menuju
hari ke -30 dalam penghabisan tahun
langkah
ini melantunkan doa yang berjejer
diantara
sujud orang-orang yang mengalun
secangkir
doa beriringan dengan irama hujan,
sedu
segala kebaikan di jam-jam yang mendoakan
pada jejak
yang meriwayatkan
pada derai
dengan segala pujian
secangkir
doa pada langkah yang mendewasa,
membalutkan
estafet di usia-usia yang menunggu
memudarkan
masa samra
menguntai
aksara tentang riwayat yang membaru
secangkir
doa pada bait pelengkap,
membingkisi
lilin dalam doa yang mengucap
merapal
hingga kecap,
mengayap
pengaminan yang acap
Penglihatan
Oleh MASHDAR ZAINAL
Aroma napas ibu berwarna seperti
akar rumput yang baru dicabut dari tanah basah. Mirip aroma rempah yang segar.
Ibu telah menjelaskan puluhan kali.
Bahkan mungkin ratusan kali. Dengan napas aroma akar rumput basah yang sama.
Bahwa aku terlahir sempurna. Tubuh dan indraku utuh, tidak ada yang cuwil atau
rompal. Tidak ada yang panjang sebelah ataupun kecil sebelah. Semua sempurna.
Bahkan sepasang mata ini. Sepasang mata ini. Orang bilang aku buta. Tapi ibu
bilang, aku hanya melihat dengan cara berbeda. Melihat dengan cara berbeda. Itu
saja.
Anak-anak lain suka bertanya, apakah
yang aku lihat hanya gelap? Gelap itu artinya berwarna hitam. Tak ada cahaya.
Kata mereka, gelap itu seperti ketika kau memejamkan mata. Ketika kau
memejamkan mata, maka kau takkan dapat melihat. Seperti itulah aku. Seperti
itulah orang buta. Mungkin aku tak paham seperti yang mereka paham. Seperti apa
warna gelap. Seperti apa warna hitam. Ketika aku memejamkan mata, sama rasanya
dengan ketika ibu mematikan lampu saat aku disuruh berangkat tidur. Setelah
terdengar bunyi klik—tanda lampu dimatikan, semua hanya menjadi sedikit
berbeda. Seperti itulah gelap. Gelap hanya sedikit berbeda dengan tidak gelap.
Barangkali gelap mereka memang
berbeda dengan gelapku. Namun, seperti mereka, aku pun masih bisa merasakan
kehadiran cahaya. Aku masih bisa merasakan sesuatu yang disebut ‘silau’ oleh
mereka. Suatu pagi, ibu pernah membawaku ke taman, dan menyuruhku mendongak.
Sesuatu yang hangat, yang bukan tangan ibu, mulai meraba wajahku. Sesuatu yang
megah dan seperti hendak memelukku. Aku nyaris terperenyak.
“Itu matahari, Sayang. Cahayanya
hangat dan agung, raja di siang hari,” ucap ibu. Aku tahu, ibu juga mendongak.
Aroma akar rumput basah itu menyebar ke langit. Beberapa titik jatuh ke
wajahku.
Pada malam yang dialiri angin yang
lembut seperti satin, ibu juga membawaku ke halaman rumah. Ia juga menyuruhku
mendongak. Tak ada usapan hangat. Tapi aku merasakan sesuatu yang lembut
mengaliri wajahku. Megah sekaligus ramah.
“Itu rembulan, Sayang. Cahayanya anggun
dan redup, ratu di malam hari,” telisik ibu. Angin satin itu membawa aroma akar
rumput basah milik ibu ke mana-mana.
Sejak ibu mengenalkanku pada
matahari dan rembulan—aku lupa kapan, tapi itu sudah lama sekali, aku telah
bisa membedakan gelap dan terang dengan sangat gamblang. Gelap adalah ketika
kau sendiri. Dan terang adalah ketika sesuatu yang megah membersamaimu. Dan hal
itu: cahaya, membuatku lebih mudah mengayunkan langkah.
Aku berjalan dengan meraba cahaya,
menyelisik suara, dan membaui aroma. Dan bagiku, itu tak ada kesulitan sama
sekali. Tak ada kesulitan sama sekali. Aku tetap bisa melihat, hanya dengan
cara berbeda, seperti kata ibu. Aku melihat ibu dengan meraba wajahnya dan
menyelisik suaranya. Hingga dapat kubayangkan wajah ibu dalam benakku. Begitu
terang. Begitu jelas. Suara ibu renyah. Renyah itu seperti ketika kau makan
kerupuk yang baru diambil dari dalam toples. Renyah itu tegas tapi lembut.
Mirip suara ‘krap’. Seperti itulah suara ibu.
Ibu adalah satu-satunya kawan
dekatku yang paling dekat. Setelah ibu, baru ada Lukas dan Elias yang sudi
berkawan denganku. Yang lain juga berkawan, tapi tidak terlalu dekat. Dekat
artinya, mereka sering meluangkan waktu bersamaku dan suka mengajakku
bercakap-cakap. Ibu, Lukas, dan Elias, suka melakukan itu. Sebab itu, aku
berjanji pada diriku sendiri, bahwa Lukas dan Elias akan tetap jadi kawanku
sampai kapanpun. Tapi Lukas dan Elias punya kebiasaan buruk, mereka suka datang
mengendap-endap. Padahal ibu tak pernah memarahi mereka. Tapi mereka tetap saja
suka datang mengendap-endap.
Ketika ibu tengah sibuk dengan
pekerjaan di dalam rumah. Biasanya Lukas dan Elias muncul dan mengajakku
bermain di halaman rumah. Di sana ada dua ayunan. Aku duduk di ayunan yang
satu, sedangkan Lukas dan Elias duduk di ayunan yang lain. Mereka bilang di
halaman rumahku banyak bunga. Ibuku memang suka sekali dengan bunga. Ada mawar.
Melati yang merambat ke tiang teras. Ada juga kamboja dan bougenvil dalam pot.
Lukas dan Elias menjelaskan bahwa bunga-bunga itu bermacam-macam warnanya. Ada
banyak warnanya.
“Mawar itu merah, melati itu putih,
kamboja merah muda, bougenvil putih dan merah muda, tapi merah mudanya berbeda
dengan merah muda kamboja,” ujar Lukas.
“Kalau daunnya, hampir semua
berwarna hijau,” Elias turut menjelaskan.
Aku hanya berterima kasih dan lalu
tersenyum, melebarkan sudut bibir ke kiri dan ke kanan. Kata ibu, begitulah
cara orang tersenyum. Aku bisa membayangkan dengan mudah seperti apa bentuk
mawar, melati, kamboja, dan bougenvil, meski aku tak begitu paham dengan
warna-warna mereka.
Ibu, Lukas, dan Elias mengamati
warna dengan mata kasat mereka. Sedangkan aku mengamati warna dengan caraku
sendiri. Merah seperti aroma garam dan karat. Seperti aroma darah. Kata ibu
darah berwarna merah. Meski aku tahu, mawar punya aroma yang khas—orang-orang
menyebutnya harum, tapi bagiku warna mawar seperti garam dan karat. Dan mawar
berduri, jariku pernah tertusuk duri bunga itu. Mengeluarkan darah. Darah yang
beraroma seperti garam dan karat. Garam dan karat.
Adapun warna melati seperti rasa
pahit dan sepat. Warna kamboja seperti serbuk minuman yang dituang ke dalam
gelas. Warna bougenvil seperti sobekan kertas. Dan warna daun-daun seperti
puding cincau yang mendidih dalam panci. Sekali lagi, aku berbicara tentang
warna, bukan aroma. Bagiku warna adalah bentuk. Merah adalah bentuk. Putih
adalah bentuk. Merah muda dan hijau juga sebuah bentuk. Barangkali itulah yang
disebut ibu sebagai ‘melihat dengan cara berbeda’. Melihat dengan cara berbeda.
Suatu malam, di usiaku yang ke
duabelas, kami duduk mengitari meja makan. Aku dan ibu duduk bersebelahan. Ayah
duduk di seberang. Aku tidak terlalu dekat dengan ayah. Tapi aku bisa
membayangkan wajah ayah dari suaranya yang keras seperti dahan patah, juga
aroma napasnya yang dingin seperti udara yang menyambar ketika kulkas dibuka.
Aku pernah meraba wajah ayah, hampir sama dengan wajah ibu dan wajahku. Hanya
saja wajah ayah kasar di beberapa bagian. Menurut ibu, itu sisa kumis dan
jenggot yang dipangkas. Itu adalah salah satu tanda bahwa laki-laki dan
perempuan berbeda. Laki-laki dan perempuan berbeda.
Ayah bekerja sebagai pejabat negara.
Kata ibu, ayah orang penting. Ayah dekat dengan presiden. Dan sebab itu, ayah
jarang sekali tinggal di rumah. Ayah sering pergi ke ibu kota. Dan bahkan
keluar negeri. Aku dan ibu sudah terbiasa ditinggalkan ayah. Sebenarnya, di
rumah kami ada dua orang pelayan, yang satu namanya No, ia bekerja merawat
taman. Dan yang satu namanya Tik, ia bagian mengurusi pekerjaan rumah. Tapi
menjelang petang mereka selalu pulang. Dan aku tak begitu suka dengan mereka.
Mereka jarang berkata-kata, dan seringkali, aroma mereka yang satu seperti
tanah becek dan yang satu seperti kain terbakar. Tapi bagaimanapun, mereka
sudah berbaik hati sudi membantu ibu sampai petang. Jadi aku tetap menghormati
mereka.
Kami masih mengitari meja makan,
ketika ayah menyampaikan, bahwa sebentar lagi, aku akan bisa melihat. Melihat
dengan cara yang sama, persis seperti ayah dan ibu melihat. Seperti Lukas dan
Elias melihat. Kata ayah, itu hadiah ulang tahunku yang ke dua belas. Hadiah
yang takkan pernah kulupakan. Ayah berbicara soal donor mata. Yang kutahu,
donor itu semacam pemberian. Berarti pemberian mata. Dan ibu menyinggung soal
operasi. Yang kutahu, operasi itu pekerjaan yang berhubungan dengan pisau,
dokter bedah, dan kesembuhan seseorang.
Sepertinya pembicaraan ayah dan ibu
akan berlangsung lama. Sebab itu, setelah makan, ibu mengantarku cuci muka,
cuci kaki, sikat gigi, dan lalu tidur. Klik. Lampu dimatikan. Klek. Pintu
ditutup dari luar. Seketika, dalam benakku muncul bentuk-bentuk yang
beterbangan. Warna-warna, aroma-aroma, dan cahaya yang berlompatan. Ketika itu,
tiba-tiba Lukas dan Elias datang. Seperti biasa, mereka datang diam-diam.
Barangkali mereka memanjat jendela. Kata Lukas, mereka sempat menguping soal
hadiah ulang tahun itu. Soal aku akan bisa melihat dengan cara yang sama.
Melihat dengan cara yang sama.
“Akan lebih baik kalau kau tidak
menerima hadiah itu,” desis Lukas.
“Betul,” sahut Elias, “hampir semua
penglihatan manusia adalah anak panah iblis yang dilesatkan. Dan itu akan
menikam dirimu sendiri. Sudah banyak buktinya.”
“Lagi pula, sebagian besar manusia
memiliki wajah dan sosok yang menyeramkan dan kadang menjijikkan untuk dilihat.
Kau pasti akan ketakutan.”
“Dan seringkali mereka mendesis
seperti ular derik. Berisik dan mencelakai orang.”
“Akan banyak sekali hal di dunia ini
yang tak ingin kau lihat nantinya. Percayalah, kau takkan suka melihat dengan
cara yang sama.”
Aku hanya menyimak ucapan mereka.
Dengan rasa ngeri yang mulai melata.
“Tapi semua terserah padamu,”
singkat Lukas.
“Ya, keputusan tetap ada di
tanganmu,” Elias menambahkan.
Malam itu, Lukas dan Elias pamit
setelah kukatakan bahwa aku harus segera tidur. Sejujurnya, aku mulai bosan dan
menganggap mereka hanya menakut-nakutiku. Setelah aku bisa melihat seperti yang
lain, tentu akan semakin banyak anak yang mau berkawan denganku. Pasti Lukas
dan Elias cemas akan hal itu. Padahal aku sudah bersumpah, sampai kapanpun,
mereka akan tetap jadi kawan dekatku. Sampai kapanpun.
Setelah malam itu, Lukas dan Elias
masih datang sesekali untuk mengingatkan soal penglihatan manusia yang kata
mereka mengerikan itu. Sampai ayah dan ibu benar-benar membawaku ke rumah sakit
untuk hadiah istimewa itu. Ketika aku sampai di rumah sakit, cahaya berlesatan
di hadapanku. Aroma-aroma membaur menjadi satu. Warna-warna beradu. Juga suara
Lukas dan Elias yang terus mengiang sayup di telingaku. Hingga aku seperti
tertidur. Tidak ingat apa-apa lagi.
Entah berapa lama, ketika aku
terbangun, sebagian kepalaku sudah dibaluti kain panjang dan pipih. Setelah
beberapa hari, ketika kain itu dibuka, perlahan. Mataku segera mengerjap.
Cahaya mendekap tubuhku. Seperti kain raksasa yang meringkusku. Dan semua
menjadi begitu berbeda. Ibu bertanya, apakah aku bisa melihat? Apakah aku
merasa silau? Aku hanya tersenyum lebar. Ibu menciumku. Wajah ibu persis
seperti yang kubayangkan selama ini. Persis. Namun aroma akar rumput basah itu
lenyap entah kemana.
Dan aku merasa sangat girang bisa
melihat begitu banyak binatang berkeliaran. Berbaur dengan manusia. Aku tahu
itu binatang karena mereka memiliki moncong. Semacam bibir yang menjorok ke
depan. Ibu pernah bercerita, bahwa salah satu perpedaan fisik antara manusia
dan binatang adalah pada moncongnya. Bahkan bebek dan ikan lele sekalipun
memiliki moncong. Sungguh, aku merasa takjub dengan dunia baruku.
Aku tidak sabar untuk mengucapkan
terima kasih pada ayah yang telah menghadiahiku sebuah penglihatan. Sebuah
dunia baru. Aku dan ibu telah menunggu ayah di depan pintu setelah beberapa
hari ayah pergi ke luar kota seperti biasanya. Ketika ayah keluar dari mobil,
aku baru tahu bahwa ayah juga memiliki moncong. Ayah juga memiliki moncong.
Tiba-tiba aku teringat kata Lukas dan Elias. Namun entah mengapa, semenjak aku
memiliki penglihatan yang sama, Lukas dan Elias tak pernah muncul lagi. Mereka
menghilang.
Ketika aku bertanya pada ibu perihal
Lukas dan Elias, ibu menjawab enteng. Kata ibu, Lukas dan Elias hanya sepasang
anjing kembar milik tetangga sebelah. Anjing kembar yang suka keluyuran ke
halaman rumah kami.
Pantun
Banyak bulan perkara bulan
Bulan puasa bulan kita
Banyak Tuhan perkara TUhan
Tuhan yang esa Tuhan kita
Bulan puasa bulan kita
Banyak Tuhan perkara TUhan
Tuhan yang esa Tuhan kita
Pisang ambon di tanam di gunung
Tumbuh sepuluh layu sebatang
Buruk orang jangan dicari
Bila kita sedang berpuasa
Tumbuh sepuluh layu sebatang
Buruk orang jangan dicari
Bila kita sedang berpuasa
Tekun kita beramal ibadah
Untuk belanja dikemudian hari
Kita serahkan kehadirat Allah
Mudah-mudahan disyafaatkan Nabi
Untuk belanja dikemudian hari
Kita serahkan kehadirat Allah
Mudah-mudahan disyafaatkan Nabi
Banyak hari perkara hari
Hari Jumaat hari kita
Banyak Nabi perkara Nabi
Nabi Muhammad Nabi kita
Hari Jumaat hari kita
Banyak Nabi perkara Nabi
Nabi Muhammad Nabi kita
Kalau Adik selesai makan
Jangan lupa nasi ditungku
Kalau adik dah jadi kaya
Jangan lupa Tuhan yang satu
Jangan lupa nasi ditungku
Kalau adik dah jadi kaya
Jangan lupa Tuhan yang satu
Pendekar Lemah
Kurus
kering dan basah diri
Keringat
mengucur deras menyusun papan
Bekerja
sendiri sambil mendidik anak di rumah panggung
Pendekar
lemah
Membunuh
hal biasa dulu kala
Menginjak
yang salah itu hal wajar saja
Kini
wajahmu membayang seperti raja
Tinggal
cerita pendekar lemah
Berguru
tanpa bersua
Dengan
ayat Allah mendo’akan keselamatanmu
Kau telah
mati di dunia ini
Namun kau
tetap hidup dalam sejarah kami
Pendekar
lemah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar