Selasa, 14 Juni 2016

5 Tulisan



Waktu Yang Kutinggalkan

Aku bukan daun yang layu
Aku bukan tangkai yang tumbang
Aku bukan pula kelopak yang jatuh begitu saja
Aku ingin menjadi karang yang tak akan terkikis oleh badai ombak
Aku ingin menjadi mentari yang tak pernah lelah menyinari
Aku ingin menjadi hujan yang menyejukkan setiap hamba-NYA
Aku ingin menjadi air, sumber hidup bagi segala makhluk
Tapi...
Aku takut,
Akan waktu yang tak sampai pada inginku
Akan waktu yang tak akan menemaniku
Akan waktu yang hilang dariku
Jikalau ia hilang Aku ingin terukir disetiap waktu, ketika aku tak dapat lagi menemui waktu
Aku ingin terukir indah, disetiap mata dan jiwa yang kutemui
Bantu aku untuk mengukir setiap waktu yang tak akan kutemui












                                                                            




Secangkir Doa...

secangkir doa pada penghujung desember,
menuju hari ke -30 dalam penghabisan tahun
langkah ini melantunkan doa yang berjejer
diantara sujud orang-orang yang mengalun
secangkir doa beriringan dengan irama hujan,
sedu segala kebaikan di jam-jam yang mendoakan
pada jejak yang meriwayatkan
pada derai dengan segala pujian
secangkir doa pada langkah yang mendewasa,
membalutkan estafet di usia-usia yang menunggu
memudarkan masa samra
menguntai aksara tentang riwayat yang membaru
secangkir doa pada bait pelengkap,
membingkisi lilin dalam doa yang mengucap
merapal hingga kecap,
mengayap pengaminan yang acap

















Penglihatan
Oleh MASHDAR ZAINAL
Aroma napas ibu berwarna seperti akar rumput yang baru dicabut dari tanah basah. Mirip aroma rempah yang segar.
Ibu telah menjelaskan puluhan kali. Bahkan mungkin ratusan kali. Dengan napas aroma akar rumput basah yang sama. Bahwa aku terlahir sempurna. Tubuh dan indraku utuh, tidak ada yang cuwil atau rompal. Tidak ada yang panjang sebelah ataupun kecil sebelah. Semua sempurna. Bahkan sepasang mata ini. Sepasang mata ini. Orang bilang aku buta. Tapi ibu bilang, aku hanya melihat dengan cara berbeda. Melihat dengan cara berbeda. Itu saja.
Anak-anak lain suka bertanya, apakah yang aku lihat hanya gelap? Gelap itu artinya berwarna hitam. Tak ada cahaya. Kata mereka, gelap itu seperti ketika kau memejamkan mata. Ketika kau memejamkan mata, maka kau takkan dapat melihat. Seperti itulah aku. Seperti itulah orang buta. Mungkin aku tak paham seperti yang mereka paham. Seperti apa warna gelap. Seperti apa warna hitam. Ketika aku memejamkan mata, sama rasanya dengan ketika ibu mematikan lampu saat aku disuruh berangkat tidur. Setelah terdengar bunyi klik—tanda lampu dimatikan, semua hanya menjadi sedikit berbeda. Seperti itulah gelap. Gelap hanya sedikit berbeda dengan tidak gelap.
Barangkali gelap mereka memang berbeda dengan gelapku. Namun, seperti mereka, aku pun masih bisa merasakan kehadiran cahaya. Aku masih bisa merasakan sesuatu yang disebut ‘silau’ oleh mereka. Suatu pagi, ibu pernah membawaku ke taman, dan menyuruhku mendongak. Sesuatu yang hangat, yang bukan tangan ibu, mulai meraba wajahku. Sesuatu yang megah dan seperti hendak memelukku. Aku nyaris terperenyak.
“Itu matahari, Sayang. Cahayanya hangat dan agung, raja di siang hari,” ucap ibu. Aku tahu, ibu juga mendongak. Aroma akar rumput basah itu menyebar ke langit. Beberapa titik jatuh ke wajahku.
Pada malam yang dialiri angin yang lembut seperti satin, ibu juga membawaku ke halaman rumah. Ia juga menyuruhku mendongak. Tak ada usapan hangat. Tapi aku merasakan sesuatu yang lembut mengaliri wajahku. Megah sekaligus ramah.
“Itu rembulan, Sayang. Cahayanya anggun dan redup, ratu di malam hari,” telisik ibu. Angin satin itu membawa aroma akar rumput basah milik ibu ke mana-mana.
Sejak ibu mengenalkanku pada matahari dan rembulan—aku lupa kapan, tapi itu sudah lama sekali, aku telah bisa membedakan gelap dan terang dengan sangat gamblang. Gelap adalah ketika kau sendiri. Dan terang adalah ketika sesuatu yang megah membersamaimu. Dan hal itu: cahaya, membuatku lebih mudah mengayunkan langkah.
Aku berjalan dengan meraba cahaya, menyelisik suara, dan membaui aroma. Dan bagiku, itu tak ada kesulitan sama sekali. Tak ada kesulitan sama sekali. Aku tetap bisa melihat, hanya dengan cara berbeda, seperti kata ibu. Aku melihat ibu dengan meraba wajahnya dan menyelisik suaranya. Hingga dapat kubayangkan wajah ibu dalam benakku. Begitu terang. Begitu jelas. Suara ibu renyah. Renyah itu seperti ketika kau makan kerupuk yang baru diambil dari dalam toples. Renyah itu tegas tapi lembut. Mirip suara ‘krap’. Seperti itulah suara ibu.
Ibu adalah satu-satunya kawan dekatku yang paling dekat. Setelah ibu, baru ada Lukas dan Elias yang sudi berkawan denganku. Yang lain juga berkawan, tapi tidak terlalu dekat. Dekat artinya, mereka sering meluangkan waktu bersamaku dan suka mengajakku bercakap-cakap. Ibu, Lukas, dan Elias, suka melakukan itu. Sebab itu, aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa Lukas dan Elias akan tetap jadi kawanku sampai kapanpun. Tapi Lukas dan Elias punya kebiasaan buruk, mereka suka datang mengendap-endap. Padahal ibu tak pernah memarahi mereka. Tapi mereka tetap saja suka datang mengendap-endap.
Ketika ibu tengah sibuk dengan pekerjaan di dalam rumah. Biasanya Lukas dan Elias muncul dan mengajakku bermain di halaman rumah. Di sana ada dua ayunan. Aku duduk di ayunan yang satu, sedangkan Lukas dan Elias duduk di ayunan yang lain. Mereka bilang di halaman rumahku banyak bunga. Ibuku memang suka sekali dengan bunga. Ada mawar. Melati yang merambat ke tiang teras. Ada juga kamboja dan bougenvil dalam pot. Lukas dan Elias menjelaskan bahwa bunga-bunga itu bermacam-macam warnanya. Ada banyak warnanya.
“Mawar itu merah, melati itu putih, kamboja merah muda, bougenvil putih dan merah muda, tapi merah mudanya berbeda dengan merah muda kamboja,” ujar Lukas.
“Kalau daunnya, hampir semua berwarna hijau,” Elias turut menjelaskan.
Aku hanya berterima kasih dan lalu tersenyum, melebarkan sudut bibir ke kiri dan ke kanan. Kata ibu, begitulah cara orang tersenyum. Aku bisa membayangkan dengan mudah seperti apa bentuk mawar, melati, kamboja, dan bougenvil, meski aku tak begitu paham dengan warna-warna mereka.
Ibu, Lukas, dan Elias mengamati warna dengan mata kasat mereka. Sedangkan aku mengamati warna dengan caraku sendiri. Merah seperti aroma garam dan karat. Seperti aroma darah. Kata ibu darah berwarna merah. Meski aku tahu, mawar punya aroma yang khas—orang-orang menyebutnya harum, tapi bagiku warna mawar seperti garam dan karat. Dan mawar berduri, jariku pernah tertusuk duri bunga itu. Mengeluarkan darah. Darah yang beraroma seperti garam dan karat. Garam dan karat.
Adapun warna melati seperti rasa pahit dan sepat. Warna kamboja seperti serbuk minuman yang dituang ke dalam gelas. Warna bougenvil seperti sobekan kertas. Dan warna daun-daun seperti puding cincau yang mendidih dalam panci. Sekali lagi, aku berbicara tentang warna, bukan aroma. Bagiku warna adalah bentuk. Merah adalah bentuk. Putih adalah bentuk. Merah muda dan hijau juga sebuah bentuk. Barangkali itulah yang disebut ibu sebagai ‘melihat dengan cara berbeda’. Melihat dengan cara berbeda.
Suatu malam, di usiaku yang ke duabelas, kami duduk mengitari meja makan. Aku dan ibu duduk bersebelahan. Ayah duduk di seberang. Aku tidak terlalu dekat dengan ayah. Tapi aku bisa membayangkan wajah ayah dari suaranya yang keras seperti dahan patah, juga aroma napasnya yang dingin seperti udara yang menyambar ketika kulkas dibuka. Aku pernah meraba wajah ayah, hampir sama dengan wajah ibu dan wajahku. Hanya saja wajah ayah kasar di beberapa bagian. Menurut ibu, itu sisa kumis dan jenggot yang dipangkas. Itu adalah salah satu tanda bahwa laki-laki dan perempuan berbeda. Laki-laki dan perempuan berbeda.
Ayah bekerja sebagai pejabat negara. Kata ibu, ayah orang penting. Ayah dekat dengan presiden. Dan sebab itu, ayah jarang sekali tinggal di rumah. Ayah sering pergi ke ibu kota. Dan bahkan keluar negeri. Aku dan ibu sudah terbiasa ditinggalkan ayah. Sebenarnya, di rumah kami ada dua orang pelayan, yang satu namanya No, ia bekerja merawat taman. Dan yang satu namanya Tik, ia bagian mengurusi pekerjaan rumah. Tapi menjelang petang mereka selalu pulang. Dan aku tak begitu suka dengan mereka. Mereka jarang berkata-kata, dan seringkali, aroma mereka yang satu seperti tanah becek dan yang satu seperti kain terbakar. Tapi bagaimanapun, mereka sudah berbaik hati sudi membantu ibu sampai petang. Jadi aku tetap menghormati mereka.
Kami masih mengitari meja makan, ketika ayah menyampaikan, bahwa sebentar lagi, aku akan bisa melihat. Melihat dengan cara yang sama, persis seperti ayah dan ibu melihat. Seperti Lukas dan Elias melihat. Kata ayah, itu hadiah ulang tahunku yang ke dua belas. Hadiah yang takkan pernah kulupakan. Ayah berbicara soal donor mata. Yang kutahu, donor itu semacam pemberian. Berarti pemberian mata. Dan ibu menyinggung soal operasi. Yang kutahu, operasi itu pekerjaan yang berhubungan dengan pisau, dokter bedah, dan kesembuhan seseorang.
Sepertinya pembicaraan ayah dan ibu akan berlangsung lama. Sebab itu, setelah makan, ibu mengantarku cuci muka, cuci kaki, sikat gigi, dan lalu tidur. Klik. Lampu dimatikan. Klek. Pintu ditutup dari luar. Seketika, dalam benakku muncul bentuk-bentuk yang beterbangan. Warna-warna, aroma-aroma, dan cahaya yang berlompatan. Ketika itu, tiba-tiba Lukas dan Elias datang. Seperti biasa, mereka datang diam-diam. Barangkali mereka memanjat jendela. Kata Lukas, mereka sempat menguping soal hadiah ulang tahun itu. Soal aku akan bisa melihat dengan cara yang sama. Melihat dengan cara yang sama.
“Akan lebih baik kalau kau tidak menerima hadiah itu,” desis Lukas.
“Betul,” sahut Elias, “hampir semua penglihatan manusia adalah anak panah iblis yang dilesatkan. Dan itu akan menikam dirimu sendiri. Sudah banyak buktinya.”
“Lagi pula, sebagian besar manusia memiliki wajah dan sosok yang menyeramkan dan kadang menjijikkan untuk dilihat. Kau pasti akan ketakutan.”
“Dan seringkali mereka mendesis seperti ular derik. Berisik dan mencelakai orang.”
“Akan banyak sekali hal di dunia ini yang tak ingin kau lihat nantinya. Percayalah, kau takkan suka melihat dengan cara yang sama.”
Aku hanya menyimak ucapan mereka. Dengan rasa ngeri yang mulai melata.
“Tapi semua terserah padamu,” singkat Lukas.
“Ya, keputusan tetap ada di tanganmu,” Elias menambahkan.
Malam itu, Lukas dan Elias pamit setelah kukatakan bahwa aku harus segera tidur. Sejujurnya, aku mulai bosan dan menganggap mereka hanya menakut-nakutiku. Setelah aku bisa melihat seperti yang lain, tentu akan semakin banyak anak yang mau berkawan denganku. Pasti Lukas dan Elias cemas akan hal itu. Padahal aku sudah bersumpah, sampai kapanpun, mereka akan tetap jadi kawan dekatku. Sampai kapanpun.
Setelah malam itu, Lukas dan Elias masih datang sesekali untuk mengingatkan soal penglihatan manusia yang kata mereka mengerikan itu. Sampai ayah dan ibu benar-benar membawaku ke rumah sakit untuk hadiah istimewa itu. Ketika aku sampai di rumah sakit, cahaya berlesatan di hadapanku. Aroma-aroma membaur menjadi satu. Warna-warna beradu. Juga suara Lukas dan Elias yang terus mengiang sayup di telingaku. Hingga aku seperti tertidur. Tidak ingat apa-apa lagi.
Entah berapa lama, ketika aku terbangun, sebagian kepalaku sudah dibaluti kain panjang dan pipih. Setelah beberapa hari, ketika kain itu dibuka, perlahan. Mataku segera mengerjap. Cahaya mendekap tubuhku. Seperti kain raksasa yang meringkusku. Dan semua menjadi begitu berbeda. Ibu bertanya, apakah aku bisa melihat? Apakah aku merasa silau? Aku hanya tersenyum lebar. Ibu menciumku. Wajah ibu persis seperti yang kubayangkan selama ini. Persis. Namun aroma akar rumput basah itu lenyap entah kemana.
Dan aku merasa sangat girang bisa melihat begitu banyak binatang berkeliaran. Berbaur dengan manusia. Aku tahu itu binatang karena mereka memiliki moncong. Semacam bibir yang menjorok ke depan. Ibu pernah bercerita, bahwa salah satu perpedaan fisik antara manusia dan binatang adalah pada moncongnya. Bahkan bebek dan ikan lele sekalipun memiliki moncong. Sungguh, aku merasa takjub dengan dunia baruku.
Aku tidak sabar untuk mengucapkan terima kasih pada ayah yang telah menghadiahiku sebuah penglihatan. Sebuah dunia baru. Aku dan ibu telah menunggu ayah di depan pintu setelah beberapa hari ayah pergi ke luar kota seperti biasanya. Ketika ayah keluar dari mobil, aku baru tahu bahwa ayah juga memiliki moncong. Ayah juga memiliki moncong. Tiba-tiba aku teringat kata Lukas dan Elias. Namun entah mengapa, semenjak aku memiliki penglihatan yang sama, Lukas dan Elias tak pernah muncul lagi. Mereka menghilang.
Ketika aku bertanya pada ibu perihal Lukas dan Elias, ibu menjawab enteng. Kata ibu, Lukas dan Elias hanya sepasang anjing kembar milik tetangga sebelah. Anjing kembar yang suka keluyuran ke halaman rumah kami.




Pantun

Banyak bulan perkara bulan
Bulan puasa bulan kita
Banyak Tuhan perkara TUhan
Tuhan yang esa Tuhan kita

Pisang ambon di tanam di gunung
Tumbuh sepuluh layu sebatang
Buruk orang jangan dicari
Bila kita sedang berpuasa

Tekun kita beramal ibadah
Untuk belanja dikemudian hari
Kita serahkan kehadirat Allah
Mudah-mudahan disyafaatkan Nabi

Banyak hari perkara hari
Hari Jumaat hari kita
Banyak Nabi perkara Nabi
Nabi Muhammad Nabi kita

Kalau Adik selesai makan
Jangan lupa nasi ditungku
Kalau adik dah jadi kaya
Jangan lupa Tuhan yang satu











Pendekar Lemah

Kurus kering dan basah diri
Keringat mengucur deras menyusun papan
Bekerja sendiri sambil mendidik anak di rumah panggung
Pendekar lemah

Membunuh hal biasa dulu kala
Menginjak yang salah itu hal wajar saja
Kini wajahmu membayang seperti raja
Tinggal cerita pendekar lemah

Berguru tanpa bersua
Dengan ayat Allah mendo’akan keselamatanmu
Kau telah mati di dunia ini
Namun kau tetap hidup dalam sejarah kami
Pendekar lemah



Bahasa Inggris Softskill




1.      Degrees of Comparison
The Degrees of Comparison in English grammar are made with the Adjective and Adverb words to show how big or small, high or low, more or less, many or few, etc., of the qualities, numbers and positions of the nouns (persons, things and places) in comparison to the others mentioned in the other part of a sentence or expression.
An Adjective is a word which qualifies (shows how big, small, great, many, few, etc.) a noun or a pronoun is in a sentence. An adjective can be attributive (comes before a noun) or predicative (comes in the predicate part):
e.g.  He is a tall man. (‘tall’ —  adjective – attributive)
This man is tall.  (‘tall’ —  adjective – predicative)
An Adverb is a word which adds to the meaning of the main verb (how it is done, when it is done, etc.) of a sentence or expression.
It normally ends with ‘ly’, but there are some adverbs that are without ‘ly’:
e.g.  She ate her lunch quickly.   He speaks clearly.  They type fast.

Kinds of comparison:

1.       POSITIVE DEGREE:
e.g. Tom is tall a boy.
In this sentence the word ‘tall’ is an adjective telling us how Tom is.  There is no other person or thing in this sentence used to compare Tom with, but it is the general way of saying about persons, animals and things that they have some quality (here ‘tallness’) above average in general sense. The adjective word ‘tall’ is said to be  in the “positive form”.
This comparison is called “positive degree” comparison. There are two more comparisons with the ‘positive form’ of the adjective words. They are:
1.       Degree of Equality: This comparison is used to compare two persons, animals or things to tell us that they are equal – having the same quality.
e.g. There are  two cats with the same height and weight, and look the same except for the colour.
Therefore we say:
e.g. The brown cat is as beautiful as the grey cat.  (= Both the cats are the same.)
The word “beautiful” is an adjective in the ‘positive form’, and with the conjunction as…as  it expresses the ‘degree of equality’.
2.        Degree of Inequality: This comparison is used to compare two persons, animals or things to tell us that they are not equal – not having the same quality.
e.g. The brown cat is not so beautiful as the black & white cat.         (= They are not the same.)
The word “beautiful” is an adjective in the ‘positive form’, and with the conjunction so…as (and the negative ‘not’) it expresses the ‘degree of inequality’
Example of Positive Degree :
1.       The task is not as difficult as you imagine.
2.       He drives as carefully as my father in the residential area.
3.       Tom is tall a boy
4.       It is a tall building.
5.       Apple is sweet to taste.

2. COMPARATIVE DEGREE:
e.g. Tom is a tall boy. Tom is taller than his sister.                                               
In the second sentence the word ‘taller’ is an adjective used to compare the ‘tallness’ of these two persons – Tom and his sister – and to tell us that Tom has more of the quality of ‘tallness’.
Therefore, an adjective word which shows the difference of quality between twotwo groups of persons, animals or things is said to be in the ‘comparative form’. persons, animals or things, or. This comparison is called “Comparative Degree”.
There are two more degrees of comparison with the ‘comparative form’ of an adjective. They are:
1.         Parallel Degree: This comparison is used to show that the qualities of two items (adjectives or adverbs) talked about in the given sentence go parallel, i.e. if one quality (adjective or adverb) increases, the other quality (adjective or adverb) increases, and if one quality decreases, the other quality also decreases.
e.g. The bigger the box, the heavier it is.
2.       Progressive Degree: This comparison is used to show that the quality of a thing (adjective or adverb) talked about in the given sentence increases as the time passes, for example:
MON      TUE         WED       THU        FRI          SAT         SUN
25°    →   27° →      30° →    33°  →   35°   →   38°   →    40°
It’s getting hotter and hotter day by day.  [as the time passes the temperature increases] OR The days are getting hotter and hotter.
Example of Comparative Degree:
1.       Tom is a tall boy. Tom is taller than his sister
2.       Your heart is colder than ice.
3.       I ran faster than you did.
4.       This building is taller than any other building.
5.       Apple is sweeter than pear.

3. SUPERLATIVE DEGREE:
e.g.  A musk ox is a large animal. An elephant is larger than a musk ox. The blue whale is the largest of all animals. The blue whale is the largest of all animals in the world.
In this sentence the word (the) ‘largest’ is an adjective used to compare the “largeness” of the blue whale and to tell us that the blue whale has the most quality of ‘largeness’.
This comparison is used to compare one person, animal or thing with more than two persons, animals or things (the rest of the group of more than two), and to say that the particular one has the highest degree of that  particular quality (here the comparison is between the blue whale and the rest of the animals, more than two). The adjective ‘large’ is said to be in the ‘superlative form’. This comparison is called “Superlative Degree”.
Example of Superlative Degree:
1.       The blue whale is the largest of all animals in the world.
2.       Your heart is the coldest of all.
3.       I run the fastest in my class.
4.       This is the tallest building.
5.       Apple is the sweetest fruit.

2.     Question Words
There are a number of words in the English language that are used primarily to make questions; these words are ‘question words’, sometimes known as ‘WH question words’, owing to the fact that all of them start with the letter ‘w’, except one which starts with ‘h’.
1.       What
‘What’ is used when asking for information about something, as in example:
1.        What did you do last evening?
2.       What would you like for dinner?
3.        What did you say when you were caught?
4.       What is your age and name?

2.       When
‘When’ is used when asking for time, as in example:
1.        When do you arrive?
2.        When is the show?
3.       When did that happen?
4.       When did you leave the office yesterday?

3.       Where
‘Where’ is used when asking for place, as in example:
1.       Where do we go now?
2.        Where have you kept the book?
3.        Where do you go for your tuitions?
4.       Where do they live?

4.       Who
‘Who’ is used when asking for identity of person or persons (subject), as in example:
1.       Who is that?
2.       Who wrote Moby Dick?
3.       Who called earlier?
4.       Who opened the door?

5.       Whom
‘Whom’ is used when asking what or which person or people (object), as in example:
Whom did you see?
6.       Whose
‘Whose’ is used when asking about possession, as in example:
1.       Whose car is this?
2.       Whose place are you staying at?
3.       Whose are these shoes?
4.       Whose are these bag?

7.       Which
‘Which’ is used to ask about choice, as in example:
1.       Which flavour of ice cream would you like?
2.       Which route do you think we should take?
3.       Which of the two is better?
4.       Which colour do you want?

8.       Why
‘Why’ is used when asking for reasons, as in example:
1.       Why would you say something like that?
2.       Why does the food smell bad?
3.       Why did you not go for work today?
4.       Why do you say that?

9.        How
‘How’ is used when asking about manner or quality or condition, as in example:
1.       How did you do that?
2.       How was the movie?
3.       How is life?
4.       How does this work?

3.      5W+1H in English Newspaper

Forest Fires Could Not Fully contained Sindoro
Metrotvnews.com, Temanggung: Protected forest area on the slopes of Mount Sindoro, Temanggung regency, Central Java, on Sunday yesterday, burning. Until Monday (24/9) this fire is still raging.
Perum Perhutani officers and local residents are working to extinguish the fire since Sunday evening to burn the protected forest area on the slopes of Mount Sindoro it. According to Junaidi June, Assistant Section Perhutani Unit Stakeholder Forest (BKPH) Temanggung, at least 23 personnel of the four resort Forest Management (RPH) downgraded to extinguish the fire.
Fire engulfed the protected forest plots 10 and 11 slopes Sindoro. In addition to joint personnel from the abattoir sandwiched between, Kemloko, Jumprit, and Kwadungan, there are Police Car of Unity Stakeholder Forest (KPH) North Kedu community Giripurno and Katekan in District Ngadirejo.
"From 07.00 am had gone up to the scene of the fire," he said.
Protected forest fire that burned plots 10 and 11 RPH Kwadungan starting to look at around 18:30 pm. Hotspots are from plots 10 and then spread to the swath 11.
By June, the new officers can begin to extinguish the fire on Monday morning due to rough terrain.
"We can not know the extent of the fire," he said.
June suspect the fire was a continuation of last week's fires.
"There might stump, especially in the area of ​​the gorge is still smoldering and then blown off and cause a fire again," said June. (Ant / DSY)

Ø Principles of news (5w + 1h)
1. (what)
What happened?
= Wildfires Sindoro hard at extinguish.
2. (where)
Where the events occur?
= Temanggung regency, Central Java
3. (when)
When did the incident occur?
= Monday (24/9)
4. (WHO)
Anyone who is involved in such events?
= Citizens Temanggung regency, Central Java. As well Junaidi, Assistant Section Perhutani Unit Stakeholder Forest (BKPH) Temanggung.
5. (why)
Why did these events occur?
= Suspected the fire was a continuation of last week's fires. and the possibility exists stump, especially in the area of ​​the gorge is still smoldering and then blown off and cause a fire again.
6. (how)
How did these events occur?
= The fire that burns the protected forest plots 10 and 11 RPH Kwadungan starting to look at around 18:30 pm. Hotspots are from plots 10 and then spread to the swath 11.

Reference :