TUGAS SOFTSKILL
NAMA : JESSICA WIJAYA
NPM :
24213636
KELAS : 2EB24
BAB IV
HUKUM PERIKATAN
Hukum perikatan
yang dalam bahasa belanda dikenal dengan sebutan verbintenis ternyata memiliki
arti yang lebih luas daripada
perjanjian. Hal ini disebabkan karena hukum perikatan juga mengatur suatu
hubungan hukum yang tidak bersumber dari suatu persetujuan atau perjanjian.
Hukum perikatan yang demikian timbul dari adanya perbuatan melanggar hukum
“onrechtmatigedaad” dan perkataan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang
lain yang tidak berdasarkan persetujuan “zaakwaarneming”.
Berikut ini
merupakan definisi hukum perikatan menurut para ahli :
1. Hukum perikatan menurut Pitlo adalah
“suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih,
atas dasar mana pihak yang satu memiliki hak (kreditur) dan pihak yang lain
memiliki kewajiban (debitur) atas suatu prestasi”.
2. Hukum perikatan menurut Hofmann adalah “suatu hubungan hukum antara
sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau
beberapa orang daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara
tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian
itu".
3. Hukum perikatan menurut Subekti adalah
"Suatu hubungan hukum antara 2 pihak, yang mana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan
itu".
Sementara
pengertian hukum perikatan yang umum digunakan dalam ilmu hukum adalah: “Suatu
hubungan hukum mengenai kekayaan harta benda antara dua orang yang memberi hak
kepada pihak yang satu untuk menuntut sesuatu barang dari pihak yang lainnya
sedangkan pihak yang lainnya diwajibkan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pihak
yang berhak menuntut adalah pihak yang berpihutang (kreditur) sedangkan pihak
yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang (debitur) sementara
barang atau sesuatu yang dapat dituntut disebut dengan prestasi”.
B. Dasar Hukum
Perikatan
Dasar hukum
perikatan berdasarkan KUHP terdapat 3 sumber, yakni :
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan
(perjanjian)
2. Perikatan yang timbul dari
undang-undang
3. Perkatan terjadi bukan perjanjian,
tetapi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan
sukarela (zaakwaarneming)
Sumber perikatan berdasarkan Undang-undang,
yaitu :
1. Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) :
Perikatan lahir karena persutujuan atau karena undang-undang. perikatan
ditunjukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak
berbuat sesuatu.
2. Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata )
: Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata
) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau
dari undang-undang sebagai perbuatan orang
C. Unsur-Unsur
dalam Hukum Perikatan
Berdasarkan
pengertian yang telah diuraikan diatas maka dapat jelaskan lebih lanjut
mengenai unsur-unsur yang terkandung dalam hukum perikatan atau terjadinya
sebuah perikatan, sebagai berikut:
• Unsur hubungan hukum dalam hukum
perikatan
Yang dimaksud
dengan unsur hubungan hukum dalam hukum perikatan adalah hubungan yang
didalamnya melekat hak pada salah satu pihak dan pada pihak lainnya melekat kewajiban. Hubungan hukum dalam hukum
perikatan merupakan hubungan yang diakui dan diatur oleh hukum itu sendiri.
Tentu saja antara hubungan hukum dan
hubungan sosial lainnya dalam kehidupan sehari-hari memiliki pengertian
yang berbeda, oleh karena hubungan hukum juga memiliki akibat hukum apabila
dilakukan pengingkaran terhadapnya.
• Unsur kekayaan dalam hukum perikatan
Yang dimaksud
dengan unsur kekayaan dalam hukum perikatan adalah kekayaan yang dimiliki oleh
salah satu atau para pihak dalam sebuah perikatan. Hukum perikatan itu sendiri merupakan bagian dari hukum harta
kekayaan atau vermogensrecht dimana bagian lain dari hukum harta kekayaan kita kenal dengan hukum benda.
• Unsur pihak-pihak dalam hukum
perikatan
Yang dimaksud
dengan unsur pihak-pihak dalam hukum perikatan adalah pihak kreditur dan pihak
debitur yang memiliki hubungan hukum. Pihak-pihak tersebut dalam hukum
perikatan disebut sebagai subyek perikatan.
• Unsur obyek hukum atau prestasi dalam
hukum perikatan
Yang dimaksud
dengan unsur obyek hukum atau prestasi dalam hukum perikatan adalah adanya
obyek hukum atau prestasi yang diperikatkan sehingga melahirkan hubungan hukum.
Dalam pasal 1234 KUH Perdata disebutkan bahwa wujud dari prestasi adalah
memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.
• Unsur Schuld dan Unsur Haftung dalam
Hukum Perikatan
Yang dimaksud dengan unsur schuld dalam hukum perikatan adalah adanya
hutang debitur kepada kreditur. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur haftung
dalam hukum perikatan adalah harta kekayaan yang dimiliki oleh debitur yang
dipertanggungjawabkan bagi pelunasan hutang debitur.
D. Sistem Hukum
Perikatan
Sistem hukum perikatan bersifat terbuka. Artinya, setiap perikatan
memberikan kemungkinan bagi setiap orang untuk mengadakan berbagai bentuk
perjanjian, seperti yang telah diatur dalam Undang-undang, serta peraturan
khusus atau peraturan baru yang belum ada kepastian dan ketentuannya. Misalnya
perjanjian sewa rumah, sewa tanah, dan sebagainya.
E. Sifat Hukum
Perikatan
Hukum perikatan merupakan hukum pelengkap, konsensuil, dan
obligatoir.Bersifat sebagai hukum pelengkap artinya jika para pihak membuat
ketentuan masing–masing, setiap pihak dapat mengesampingkan peraturan dalam
Undang–undang.Hukum perikatan bersifat konsensuil artinya ketika kata sepakat
telah dicapai oleh masing-masing pihak, perjanjian tersebut bersifat mengikat
dan dapat dipenuhi dengan tanggung jawab. Sementara itu, obligatoir berarti
setiap perjanjian yang telah disepakati bersifat wajib dipenuhi dan hak milik
akan berpindah setelah dilakukan penyerahan kepada tiap – tiap pihak yang telah
bersepakat.
F. Macam – macam
Hukum Perikatan
Berikut ini
meruapkan beberapa jenis hukum perikatan
1. Perikatan bersyarat, yaitu perikatan
yang pemenuhan prestasinya dikaitkan pada syarat tertentu.
2. Perikatan dengan ketetapan waktu, yaitu
perikatan yang pemenuhan prestasinya dikaitkan pada waktu tertentu atau dengan
peristiwa tertentu yang pasti terjadi.
3. Perikatan tanggung
menanggung atau tanggung renteng, yaitu para pihak dalam perjanjian terdiri
dari satu orang pihak yang satu dan satu orang pihak yang lain. Akan tetapi,
sering terjadi salah satu pihak atau kerdua belah pihak terdiri dari lebih dari
satu orang.
G. Azas-azas dalam
hukum perikatan
Asas-asas dalam
hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas
kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
1. Asas Kebebasan
Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata
yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi
para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
2. Asas konsensualisme Asas
konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata
sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan
sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan
dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Adapun syarat-syarat dari sah-nya suatu perjanjian, yakni:
• Kata Sepakat antara
Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang
mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling
setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan
tersebut.
• Cakap untuk Membuat
Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak
harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di
bawah pengampuan.
• Mengenai Suatu Hal
Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus
jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek,
diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu
perselisihan antara para pihak.
• Suatu sebab yang Halal
Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan
(causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum
BAB V
HUKUM PERJANJIAN
A. PERJANJIAN PADA UMUMNYA
Menurut
Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa
ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang
disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing
pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan.
A.1.
Azas-azas Hukum Perjanjian
Ada
beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua
diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui,
yaitu:
1. Azas
Konsensualitas,
yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik
tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan
lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai
syarat-syarat sahnya perjanjian.
1. Azas
Kebebasan Berkontrak,
yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi
dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan
dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
A.2. Syarat
Sahnya Perjanjian
Dalam
Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus
bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa
adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.
1. Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang
mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan
berwenang melakukan perjanjian.
Mengenai
kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan
perbuatan hukum kecuali yang oleh undang-undang dinyatakan tidak
cakap. Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap
untuk membuat suatu perjanjian yakni:
–
Orang yang belum dewasa.
Mengenai
kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut:
(i)
Menurut Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat
perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah
menikah dan sehat pikirannya.
(ii)
Menurut Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang
Undang-Undang Perkawinan (“Undang-undang
Perkawinan”): Kecakapan bagi pria adalah bila telah mencapai umur 19
tahun, sedangkan bagi wanita apabila telah mencapai umur 16 tahun.
–
Mereka yang berada di bawah pengampuan.
–
Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan
berlakunya Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).
–
Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
1.
Mengenai
suatu hal tertentu, hal ini
maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu.
1.
Suatu sebab yang halal, yaitu isi dan tujuan
suatu perjanjian haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban
Syarat No.1 dan No.2
disebut dengan Syarat Subyektif,
karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,
sedangkan syarat No.3 dan No.4 disebut Syarat Obyektif, karena
mengenai obyek dari suatu perjanjian.
Apabila syarat subyektif tidak dapat
terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian
itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang
tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak
bebas.
Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan
terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak
dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan
tersebut.
Sedangkan
apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal
demi hukum. Artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan
tidak pernah ada suatu perikatan.
A.3.
Kelalaian/Wanprestasi
Kelalaian
atau Wanprestasi adalah apabila salah satu pihak yang mengadakan perjanjian,
tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Kelalaian/Wanprestasi
yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat berupa empat macam, yaitu:
1. Tidak melaksanakan isi
perjanjian.
2. Melaksanakan isi
perjanjian, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
3. Terlambat melaksanakan isi
perjanjian.
4. Melakukan sesuatu yang
menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
BAB VI
HUKUM DAGANG
Sebelum kita membahas mengenai hukum perdagangan ada baiknya kita
mengetahui terlebih dahulu apa itu pengertian dari perdagangan itu sendiri.
Perdagangan atau perniagaan dalam arti umum ialah pekerjaan membeli
barang dari suatu tempat atau pada suatu waktu dan menjual barang itu di tempat
lain atau pada waktu yang berikut dengan maksud memperoleh keuntungan.
Berikut ini merupakan berbagai pengertian hukum dagang yang dikemukakan oleh
para ahli hukum yakni :
1. Achmad Ichsan
mengemukakan:
“Hukum dagang adalah hukum yang mengatur soal-soal perdagangan, yaitu
soal-soal yang timbul karena tingkah laku manusia dalam perdagangan.”
2. R. Soekardono
mengemukakan:
”Hukum dagang adalah bagian dari hukum perdata pada umumnya, yakni yang
mengatur masalah perjanjian dan perikatan yang diatur dalam buku III
Burgerlijke Wetboek (BW) dengan kata lain, hum dagang adalah himpunan peraturan
peraturan yang mengatur seseorang dengan orang lain dalam kegiatan perusahaan
yang terutama terdapat dalam kodifikasi KUHD dan KUHPdt. Hukum dagang dapat
pula dirumuskan adalah serangkaian kaidah yang mengatur tentang dunia usaha
atau bisnis dan dalam lalu lintas perdagangan.”
3. Fockema Andreae mengemukakan:
“Hukum dagang (Handelsrecht) adalah keseluruhan dari atuaran hukum
mengenai perusahaan dalam lalu lintas perdagangan, sejauh mana diatur dalam
KUHD dan beberapa undang-undang tambahan. Di Belanda hukum dagang dan hukum
perdata dijadikan satu buku, yaitu Buku II dalam BW baru Belanda.”
4. H.M.N. Purwosutjipto
mengemukakan:
“Hukum dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan
perusahaan.”
5. Sri Redjeki Hartono
mengemukakan:
“Hukum dagang dalam pemahaman konvensional merupakan bagian dari bidang
hukum perdata atau dengan perikatan lain selain disebut bahwa hukum perdata
dalam pengertian luas, termaksud hukum dagang merupakan bagian-bagian asas-asas
hukum perdata pada umumnya.”
6. M. N. Tirtaamidjaja
mengemukakan:
“Hukum perniagaan adalah hukum yang mengatur tingkah laku orang-orang
yang turut melkukan perniagaan. Sedangkan perniagaan adalahpemberian
perantaraan antara produsen dan konsumen; membeli dan menjual dan membuat
perjanjian yang memudahkan dan memajukan pembelian dan penjulan itu. Sekalipun
sumber utama hukum perniagaan adalah KUHD akan tetapi tidak bisa dilepaskan
dari KUHPdt
7. KRMT. Titodiningrat
mengemukakan:
“Hukum dagang
merupakan bagian dari hukum perdata yang mempunyai atuaran-aturan mengenai
hubungan berdasarkan ats perusahaan. Peraturan-peraturan mengenai perusahaan
tidak hanya dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) melainkan
juga berupa Undang-Undang di luarnya. KUHD dapat disebut sebagai perluasan
KUHPdt.”
Dari berbagai
pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa Hukum dagang ialah aturan-aturan
hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dengan yang lainnya, khusunya
dalam perniagaan.
Hukum dagang adalah
hukum perdata khusus. Pada mulanya kaidah hukum yang kita kenal sebagi hukum
dagang saat ini mulai muncul dikalangan kaum pedagang sekitar abad ke-17.
Kaidah-kaidah hukum tersebut sebenarnya merupakan kebiasaan diantara mereka
yang muncul dalam pergaulan di bidang perdagangan. Ada beberapa hal yang diatur
dalam KUH Perdata diatur juga dalam KUHD. Jika demikian adanya,
ketenutan-ketentuan dalam KUHD itulah yang akan berlaku. KUH Perdata merupakan
lex generalis(hukum umum), sedangkan KUHD merupakan lex specialis (hukum
khusus). Dalam hubungannya dengan hal tersebut berlaku adagium lex specialis
derogat lex generalis (hukum khusus menghapus hukum umum).
Ada beberapa macam
pemberian perantaraan kepada produsen dan konsumen :
1. Pekerjaan orang-orang perantara sebagai
makelar, komisioner, pedagang keliling dan sebagainya.
2. Pembentukan badan-badan usaha (asosiasi),
seperti perseroan terbatas (PT), perseroan firma (VOF=Fa) Perseroan Komanditer,
dsb yang tujuannya guna memajukan perdagangan.
3. Pengangkutan untuk kepentingan lalu
lintas niaga baik didarat, laut maupun udara.
4. Pertanggungan (asuransi)yang berhubungan
dengan pengangkutan, supaya si pedagang dapat menutup resiko pengangkutan
dengan asuransi.
5. Perantaraan Bankir untuk membelanjakan
perdagangan.
6. Mempergunakan surat perniagaan (Wesel/
Cek) untuk melakukan pembayaran dengan cara yang mudah dan untuk memperoleh
kredit.
Pada pokoknya
Perdagangan mempunyai tugas untuk :
1. Membawa/ memindahkan barang-barang dari
tempat yang berlebihan (surplus) ke tempat yang berkekurangan (minus).
2. Memindahkan barang-barang dari produsen ke
konsumen.
3. Menimbun dan menyimpan barang-barang itu
dalam masa yang berkelebihan sampai mengancam bahaya kekurangan.
Pembagian jenis
perdagangan, yaitu :
1. Menurut pekerjaan yang dilakukan
pedagang.
a. Perdagangan mengumpulkan (Produsen –
tengkulak – pedagang besar – eksportir)
b. Perdagangan menyebutkan (Importir –
pedagang besar – pedagang menengah – konsumen)
2. Menurut jenis barang yang diperdagangkan
a. Perdagangan barang, yang ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan jasmani manusia (hasil pertanian, pertambangan, pabrik)
b. Perdagangan buku, musik dan kesenian.
c. Perdagangan uang dan kertas-kertas
berharga (bursa efek)
3. Menurut daerah, tempat perdagangan dilakukan
a. Perdagangan dalam negeri.
b. Perdagangan luar negeri (perdagangan
internasional), meliputi : – Perdagangan Ekspor – Perdagangan Impor c.
Perdagangan meneruskan (perdagangan transito)
Hukum Dagang
Indonesia terutama bersumber pada :
1. Hukum tertulis yang dikofifikasikan :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
atau Wetboek van Koophandel Indonesia (W.v.K)
b. Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS)
atau Burgerlijk Wetboek Indonesia (BW)
2. Hukum tertulis yang belum
dikodifikasikan, yaitu peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang
hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan (C.S.T. Kansil, 1985 : 7).
Sifat hukum dagang
yang merupakan perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Hal-hal yang diatur
dalam KUHS adalah mengenai perikatan umumnya seperti :
1. Persetujuan jual beli (contract of sale)
2. Persetujuan sewa-menyewa (contract of
hire)
3. Persetujuan pinjaman uang (contract of
loun)
Hukum dagang selain
di atur KUHD dan KUHS juga terdapat berbagai peraturan-peraturan khusus (yang
belum di koodifikasikan) seperti :
1. Peraturan tentang koperasi
2. Peraturan pailisemen
3. Undang-undang oktroi
4. Peraturan lalu lintas
5. Peraturan maskapai andil Indonesia
6. Peraturan tentang perusahaan Negara
DAFTAR PUSTAKA